Empty Nest Syndrome


imageedit_10_2305972535
Pixabay

Dulu sewaktu masa-masa kuliah, saya masih ingat ada pelajaran atau mata kuliah yang membahas tetang topik seperti yang saya jadikan judul tulisan ini. Iya, ini mata kuliah psikologi karena membahas perilaku manusia sebagai refleksi dari kondisi emosional dan sosialnya. Saya juga masih ingat betul ketika dosen mata kuliah tersebut menjelaskan, bahwa sindroma atau gejala perasaan kehilangan yang dialami oleh orang tua (parent) pada saat dimana anak-anak mulai meninggalkan rumah mereka (orang tua mereka) karena berbagai alasan. Pada saat itu, orang tua akan mengalami apa yang disebut dengan Empty Nest Syndrome.

Mereka merasa seakan berada di sebuah sarang kosong atau rumah tanpa seorangpun kecuali mereka berdua. Dalam wikipedia.com yang saya kutip dijelaskan bahwa, “Empty nest syndrome is a feeling of grief and loneliness parents may feel when their children leave home for the first time, such as to live on their own or to attend a college oruniversity. It is not a clinical condition.”

Perasaan seperti ini memang akan dialami oleh setiap orang tua terutama si ibu ketika anak-anak mulai meningalkan rumah karena berbagai alasan, misalnya mereka pergi merantau ke luar kota atau keluar negeri untuk kuliah, menikah dan membentuk rumah tangga sendiri, meninggal dunia atau karena berbagai sebab lainnya. Orang tua akan merasa sedih dan rindu serta kesepian yang cukup bahkan sangat menekan perasaan untuk pertama kali, namun simptom ini biasanya akan berlalu seiring dengan berjalannya waktu. Adalah hal yang wajar dan normal ketika anak-anak dewasa muda ini pergi meninggalkan rumah untuk sesuatu alasan seperti yang dipaparkan di atas. Namun akan dirasakan sekali oleh orang tua mereka, terutama oleh si ibu yang biasanya hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurus dan merawat anak-anak mereka sejak kecil hingga dewasa.

Pertanyaannya, apakah semua orang tua atau pasangan usia lanjut ini akan mengalami sindroma sarang kosong ini? Jawabannya relatif, bergantung pada kesiapan mental dan juga pemahaman dan penghayatan mereka tentang nilai-nilai dan agama yang mereka anut. Juga tergantung apakah mereka tergolong orang tua yang sulit menerima perubahan yang terjadi dalam hidup mereka, atau sebaliknya. Karena ada orang tua yang tidak terlalu peduli dengan perasaan kehilangan semacam itu dan mereka bisa menyiasatinya dengan membuat agenda-agenda kesibukan sendiri untuk mengisi waktu luang di hari tua mereka, misalnya setelah pension dari pekerjaan, meskipun di rumah hanya tinggal mereka berdua.

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa seorang ibu yang bertindak sebagai pengasuh

utama bagi anak-anaknya lebih mungkin akan mengalami sindroma sarang kosong ini dibanding seorang ayah. Namun penelitian lain juga menunjukkan bahwa beberapa ayah mengungkapkan perasaan bahwa mereka tidak siap dalam menghadapi transisi emosional yang terjadi sebagai akibat anak-anak mereka meninggalkan rumah. Sementara yang lain menyatakan perasaan bersalahnya atas kehilangan kesempatan untuk lebih terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka, sebelum mereka meninggalkan rumah.

Menurut Rahmah (2006), penyesuaian awal yang harus dilakukan adalah penyesuaian terhadap keluarga yang dalam hal ini berarti pasangan hidup atau suami, dan secara otomatis menyebabkan harus dilakukannya perubahan peran.

Perubahan peran seorang ibu akan menjadi awal penyesuaian diri menghadapi sindrom sarang kosong. Seorang ibu yang masih memiliki pasangan, cenderung lebih mudah menyesuaikan diri dibandingkan dengan ibu yang sudah tidak memiliki pasangan. Keberadaan pasangan sangat berpengaruh dalam mencapai keseimbangan diri seorang ibu setelah kepergian anak, karena orientasi peran dalam hidup kembali berpusatkan pada pasangan. Selain itu, keberadaan pasangan juga mampu mereduksi kesedihan dan rasa sepi pada diri seorang ibu. Untuk ibu yang sudah tidak didampingi pasangan, cenderung mengorientasikan diri pada kegiatan diluar rumah. Dengan melibatkan diri pada kesibukan dan keramaian di luar rumah, seorang ibu mendapatkan kompensasi atas rasa kehilangannya terhadap anak-anak.

Kemudian bersamaan dengan berjalannya waktu sebagai pemicu munculnya kebiasaan, seorang ibu akan keluar dari sindrom sarang kosong. (Rahmah, N. (2006) Penyesuaian Diri Ibu Menghadapi Sindrom Sarang Kosong. http://www.adln.lib.unair.ac.id. Diakses 26 Agustus 2008.)

Dari uraian di atas saya hanya bisa mengatakan bahwa gejala sarang kosong ini tidak perlu menjadi momok bagi siapapun, asalkan kita bisa menyiasati masa-masa itu dengan berbagai aktivitas positif dan bisa membangun kembali hubungan yang lebih baik lagi dengan pasangan kita, juga dengan orang lain di sekitar rumah kita.

Demikian beberapa coretan singkat di pagi hari ini, semoga bermanfaat. Atau ada pandangan dan pemikiran yang berbeda dari para pembaca? silakan dishare di kolom komentar di bawah ini.

SPARK OF CONTENT :.

In wikipedia.com I quoted an opinion that explains that, “Empty nest syndrome is a feeling of grief and loneliness parents may feel when Reviews their children leave home for the first time, such as to live on their own or to Attend a college or university. It is not a clinical condition. “This kind of feeling will indeed be experienced by every parent, especially the mother when the children started leaving home for various reasons, for example, they go wander out of town or out of state for college, marry and form households alone, dies or for various other reasons. From the above, I can only say that the symptoms of empty nest does not have to be a scourge for anyone, as long as we can get around that period with a variety of positive activities and can rebuild a better relationship again with our partner, also with others in around our homes and with our social environment more broadly.

Artikel lainnya :

  1. Keutamaan menjaga lisan
  2. Cara membuat halaman depan statis pada blog
  3. Bolehkan menonton permainan sulap?
  4. Menyegerakan berbuat kebaikan dan bahaya menundanya
  5. Semuanya sudah sangat terlambat
  6. Selalu ada bahagia di penghujung kesedihan
  7. Riya’ dan cara menghindarinya
  8. Dikir pagi dan petang dan keutamaannya
  9. Untuk apa kita diciptakan?
  10. Munajat tak pernah putus

13 thoughts on “Empty Nest Syndrome

  1. Sebagai seorang anak yg sudah mandiri kita seharusnya memberi kabar atau sering bersalam sapa dengan orang tua walau dengan hp.. Setidaknya ini akan mengurangi syndrome tersebut kepada orang tua.. tfs

    Liked by 3 people

    1. Betul sekali mas Gusti, dgn sering memberi kabar kepada orang tua kita, apalagi kabar gembira, ini akan mengurangi rasa kesepian mereka ya mas, apalagi di era sekarang yang alat komunikasinya sudah pada canggih semua, tidak ada alasan untuk tidak berkomunikasi dengan mereka. Terima kasih atas kunjungannya, dan…
      Salam dari saya di Dompu

      Liked by 2 people

  2. Sebanyak apapun harta yang dimiliki, tidak akan mengobati sindrome ini.
    Saya percara akan karma, jika kita bersikap baik pada orang tua kita. Nanti anak kita akan bersikap baik pula kepada kita.

    Liked by 2 people

    1. Betul sekali mas, itu mungkin sudah sunnatullah atau hukum sebab akibat ya mas, kalau kita sebagai anak berperilaku baik (birrul walidain) pada orang tua kita, insya Allah nanti anak-anak kita juga akan berperilaku baik pula pada kita. Terima kasih mas atas kunjungannya…
      Salam dari saya di Dompu

      Like

    1. Iya betul mba Dini,semua berpulang pada bagaimana kita menyikapi sesuatu masalah atau kondisi. Terima kasih atas kunjungannya dan semangat ngeblog! ya mba…
      Salam dari sore dari Dompu

      Liked by 1 person

    1. Iya mas betul, memang fase-fase pasca pension atau anak-anak telah membentuk keluarga sendiri menjadi masalah yang cukup serius bagi pasangan tertentu, namun juga bisa disiasati dengan pengalihan fokus perhatian pada hoby masing-masing dll. Terima kasih sudah mampir mas yah.
      Salam dari saya di Dompu.

      Like

  3. Assalaamu’alaikum wr.wb, mas AR Syamsuddin….

    Jika diteliti dalam kehidupan harian kita, banyak orang tua yang mengalami sindrom begini ya. terutama mereka yang tidak tahu bagaimana menanganinya. Pasti ada murung, sedih dan kecewa terutama anak-anak yang tidak menghargai mereka dan meninggalkan mereka sendirian.

    Sebaiknya, waktu-waktu begini hendaklah lebih mendekatkan diri kepada Allah dan buat pekerjaan harian yang menyukakan hati seperti berkebun, menulis atau sebagainya. Kalau saya, insya Allah sudah mempunyai rencana jika anak-anak semuanya meninggalkan sarangnya.

    Tambah lagi saat ini sudah terasadan harus belajar menghadapinya apabila anak-anak sudah masuk universiti. Jangan sampai jadi gila ya….mohon dihindari.

    Salam hormat takzim dari Sarikei, Sarawak.

    Like

    1. Wa’alaikum salam mba fatimah…
      Betul sekali mba Fatimah, di jaman akhir ini memang orang tua hrs bisa membuat rencana masa tua yang cukup memadai agar mereka tidak merasa dihinggapi perasaan “sarang kosong”. Seperti kata mba Fatimah memang betul, bahwa harus lebih banyak mendekatkan diri pada Allah dan tentu juga harus ada semacam kesibukan untuk mengisi hari-harinya meskipun tidak ada lagi anak-anak atau pasangannya untuk bercengkerama sebagaimana dahulu. Sangat perlu memang sejak dini dipersiapkan rencana seperti yang mba fatimah buat itu, agar terhindar dari hal-hal buruk terjadi di masa tua, apalagi sampai jadi gila yah, semoga tidak sampai terjadilah hal itu…
      Terima kasih, dan salam takzim dari saya di Dompu

      Like

Comments are closed.