Bersafar Atau Bepergian Dan Etikanya

imageedit_28_3106255020
pixabay.com

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Setiap orang pasti membutuhkan sesuatu yang baru yang hanya ada di luar dirinya. Ia membutuhkan pengetahuan, wawasan, ilmu dan suasana yang baru. Memang kebutuhan akan wawasan, pengetahuan dan juga ilmu bisa kita dapatkan dalam rumah bahkan dalam kamar tidur kita, karena semua itu bisa kita akses melalui berbagai media elektronik dan internet yang ada dalam rumah kita, tetapi sebagai manusia kita tidak akan pernah puas dengan cara pemenuhan kebutuhan seperti itu. Kita pasti ingin mengalami dan marasakan sesuatu itu langsung di lapangan. Khusus yang berkaitan dengan kebutuhan akan suasana, maka untuk memenuhinya, mau atau tidak mau kita harus keluar meninggalkan rumah.

Kita butuh rekreasi untuk merefresh jiwa dan raga kita, misalnya pada suasana pergantian tahun yang di situ ada waktu luang yang cukup panjang (long weekend). Misalnya ada hari libur nasional di mana sangat bermanfaat sekali bagi para pegawai pemerintah maupun swasta untuk memulihkan kembali kondisi fisik maupun mentalnya setelah sekian lama dijejali dengan tugas dan pekerjaanya.

Tetapi tentu saja, yang dimaksud dengan safar atau bepergian di sini tidak hanya untuk rekreasi akan tetapi menyangkut juga bepergian yang berkaitan dengan ibadah yang khusus, seperti haji dan umrah dan lain-lain yang memerlukan perjalanan panjang.

Semua ini adalah hal yang wajar kita lakukan bersama anggota keluarga pergi ke suatu tempat atau obyek wisata tertentu. Tetapi sebagai orang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah, kita perlu mengetahui apa dan bagaimana seharusnya safar atau bepergian yang sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan Sunnah.

Saudara, sebenarnya saya masih sangat awam tentang hukum agama, dan saya masih terus belajar, termasuk mengenai aturan atau etika dalam bebergian. Namun demikian, saya coba membuka dan membaca buku dan literatur terkait dan juga tentunya melalui googling, akhirnya saya mendapatkan yang saya butuhkan.  Dan pada postingan kali ini saya akan coba berbagi dengan anda tentang hal dimaksud. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala  meridhoinya, aamiin.

Saudara, ada sebuah ungkapan yang mengatakan, bahwa hidup ini bagaikan roda yang terus berputar, ada yang datang dan ada pula yang pergi, ada suka dan ada pula duka. Semua itu bukanlah sesuatu peristiwa atau kejadian yang terjadi secara kebetulan, akan tetapi merupakan ketetapan Allah Subhanahu wata’ala yang berlaku di alam semesta. Dunia adalah tempat persinggahan sementara kita dalam perjalanan menuju akhirat. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mempersiapkan bekal untuk perjalanan panjang tersebut. Dalam Al Qur’an Allah berfirman :

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah:197)

Saudara, dalam surat lain Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman;

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.( QS. Al-Jumu’ah: 10).

Sesuai dengan pokok bahasan atau judul postingan di atas, pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan  beberapa etika atau adab bepergian sesuai tuntunan Al Qur’an dan Sunnah;

1. Berpamitan kepada keluarga dan kerabat.

Ketika  hendak bepergian, dianjurkan untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan kawan-kawan. Sebab Allah menjadikan berkah di dalam doa mereka. Inilah sunnah yang banyak dilupakan oleh kaum muslimin pada hari ini, yaitu melepas kepergian dengan doa yang telah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِيْنَكَ وَ اَمَانَتَكَ وَ خَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ

“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu dan penuntup amalmu”.[HR. Abu Dawud (2600). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 14)]

Al-Imam Ath-Thibiy –rahimahullah– berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menjadikan agama dan amanah seseorang sebagai titipan, karena di dalam safar seseorang akan tertimpa rasa berat, dan takut sehingga hal itu menjadi sebab tersepelekannya sebagian perkara-perkara agama. Lantaran itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakan kebaikan bagi orang yang safar berupa bantuan dan taufiq. 

Seseorang dalam safarnya tersebut tak akan lepas dari kegiatan yang ia perlukan di dalamnya berupa mengambil dan memberi sesuatu, bergaul dengan manusia. Karena itulah, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendoakannya agar dipelihara sifat amanahnya, dan dijauhkan dari sifat khianat.

Kemudian, jika ia kembali kepada keluarganya, maka akhir urusannya aman dari sesuatu yang membuatnya buruk dalam perkara agama dan dunianya”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidziy (8/338)]

Inilah hikmahnya seseorang saling mendoakan saat seseorang bepergian. Selain itu, berpamitan juga memiliki manfaat lain, yaitu ia merupakan kesempatan untuk memberi wasiat, pesan, dan lainnya. Sebab banyak orang yang pergi, dan tak diketahui lagi rimbanya sehingga putuslah hubungan silaturahim, atau lainnya

2. Hendaklah bepergian secara berjamaah

Islam menyerukan kepada pemeluknya untuk senantiasa bersatu dan berjama’ah, bukan berpecah belah. Begitu pula ketika bersafar dianjurkan untuk berjama’ah dan berombongan. Oleh karena itu, jika seseorang ingin melakukan suatu perjalanan, maka hendaklah ia mencari teman-teman dalam perjalanan dan jangan ia pergi seorang diri. Sebab dalam perjalanan banyak ditemukan kesusahan, bahaya, dan penderitaan.

AlKhoththobiy –rahimahullah– berkata, “Orang yang bepergian sendiri, andaikan ia meninggal, maka tidak ada yang memandikannya dan menguburkannya serta mengurus segala sesuatunya. Juga tidak ada orang yang bisa menerima wasiatnya untuk mengurus harta bendanya dan membawanya kepada keluarganya serta tidak ada yang memberi kabar kepada keluarganya. Tidak ada orang yang membantu membawa perbekalannya selama perjalanannya. Sedangkan jika ia pergi bertiga atau berombongan, maka mereka bisa saling membantu, bahu-membahu, berbagi tugas, bergiliran jaga, melaksanankan shalat secara berjama’ah dan memperoleh bagian dari berjama’ah.”[Lihat ‘Aunul Ma’bud (7/125) cet.Daar Ihya’ At-Turats Al-Arabiyyah.]

Lantaran itu, Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– melarang seseorang untuk bepergian sendiri  dalam sabdanya,

لَوْ يَعْلَمُ اْلنَّّاسُ مَا فِيْ اْلوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ                                                   

 Andaikata manusia mengetahui apa (bahaya) kesendirian sebagaimana yang kuketahui, niscaya tidak ada seorang pengendara pun yang akan berjalan di malam hari dalam keadaan seorang diri. ” [HR. Al-Bukhoriy (no. 2998). ]

Larangan dalam hadits ini mencakup pengendara maupun pejalan kaki. Penyebutan pengendara dalam hadits ini disebabkan karena kebanyakan orang yang bepergian itu memakai kendaraan. Larangan ini pula berlaku pada waktu malam maupun siang hari. Sebab disebutkan dalam hadits ini pada waktu malam, karena malam hari lebih rawan kejahatan dan lebih besar resikonya.

3. Hendaklah ada salah seorang sebagai ketua rombongan

Tatkala melakukan safar secara berombongan maka ia memiliki keterikatan diantara banyak orang. Oleh karenanya, dianjurkan bagi orang yang bepergian secara berombongan dan yang berjumlah tiga atau lebih, agar menunjuk salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan. Tugasnya ialah memimpin dan mengurus segala sesuatu untuk kepentingan mereka bersama. Keputusannya harus dipatuhi oleh seluruh anggota rombongan dengan syarat tidak memerintahkan berbuat maksiat kepada Allah.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ,

إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍفَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ

Apabila ada tiga orang yang keluar dalam sebuah perjalanan, maka hendaklah mereka menunjuk salah satu dari mereka menjadi amir(ketua rombongan).”[HR. Abu Dawud (2608). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-shohihah (no. 1322)]

4. Larangan bepergian tanpa ada mahram bagi wanita.

Di dalam syariat Islam, seorang wanita tidak boleh bersafar tanpa disertai oleh mahramnya. Sebab hal itu akan menimbulkan fitnah (malapetaka) bagi dirinya dan para lelaki yang ada disekelilingnya. Oleh karenanya, Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

لاَيَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَةً يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sepanjang sehari semalam tanpa ditemani mahram.“ [HR. Al-Bukhari(1088)]

Bahkan Ibnu Abbas –radhiyallahu anhu– pernah mendengar Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ اِمْرَأَةٌ إِلاََّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اُكْتُتِبْتُ فِيْ غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا وَخَرَجَتِ امْ رَأَتِيْ حَاجَةً قَالَ اِذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

“Jangan sekali-kali seorang lelaki berada di tempat yang sepi dengan seorang wanita, dan jangan sekali-kali seorang wanita safar (bepergian jauh), kecuali bersama mahramnya.”

Kemudian ada seorang lelaki berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku sudah mendapat tugas dalam perang begini dan begini,sementara istriku pergi haji. Beliau lantas bersabda,”Berangkatlah pergi haji berrsama istrimu!!”. [HR.Al-Bukhari (3006)]

Hadits diatas adalah dalil yang paling tegas menunjukkan haramnya seorang wanita bersafar tanpa ada mahram yang meyertainya. Sebab Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– lebih mendahulukan sahabatnya untuk menemani istrinya pergi berhaji daripada ikut berperang. Wallahu a’lam.

Semoga tulisan ini bermanfaat, aamiin.

SPARK OF CONTENT:

Appropriate guidance or according to the Qur’an and Sunnah there are some ethics in traveling, among them: 1. Inform the family and relatives before leaving. 2. Let go congregation, 3. Let someone as a head of the group, 4. Prohibition traveling without a mahram (some one who can not be maried) for women. “Never a man to be in a quiet place with a woman, and never a woman Safar (traveling distance), except along with her mahram.” In Islamic law, a woman should not traveling without being accompanied by a mahram. Because it will cause fitnah (catastrophe) for herself and the men around her.